Hiruk Pikuk Berpuasa Di Perantauan
Alhamhamdullilah
Bulan penuh rahmat dan barokah akhirnya
datang juga. Bagi mahasiswa dan masyarakat kebanyakan bulan ‘ramadhan’ ini di
manfaatkan untuk bersilaturahmi dan berbagi antar sesama umat manusia. Tidak
ketinggalan para mahasiswa, sebagian mahasiswa ‘perantauan’memilih untuk pulang
kampung menikmati liburan kuliahnya dan sebagian lagi memilih untuk menetap
‘sementara’ diperantauannya hanya sekedar untuk mengambil semester pendek atau
berkegiatan.
Well, kali ini akan kita bahas para
mahasiswa yang menetap sementara diperantauannya dan memilih untuk hanya
sekedar kuliah atau berkegiatan. Menurut saya, bulan ramadhan diperantauan itu
sungguh mengasyikkan karena kita bisa ‘mandiri’ dan sekaligus ‘menantang’ diri
sendiri dalam artian seberapa mampunya kita menikmati puasa di perantauan. Buka
puasa sendiri dan berjuang untuk bangun sahur pun sendiri.
Menurut saya, hal ini merupakan
‘pembentukan’kebudayaan dalam diri kita sendiri dimana kita yang biasannya
terbiasa dengan ‘budaya’ yang di bentuk di lingkungan orang tua kita dan
sekarang akhirnya kita bebas membentuk budaya kita sendiri sesuai kemauan kita.
Banyak pengalaman yang sangat-sangat
berharga yang saya rasakan selama ini ketika pembentukan budaya yang saya
jalani ketika bulan ramadhan di perantauan. Kalau dahulu di kampung, kita
terbiasa di bangunkan oleh orang tua ketika waktu sahur, buka bersama, tadarus
bersama di musholla kampung, itulah kebudayaan yang dibentuk oleh orang tua kita.
Nah sekarang, kita harus mandiri dan berjuang apakah budaya yang ditanamkan
oleh orangtua yang tentunnya baik itu dapat dipertahankan diperantauan. Ini
susah-susah gampang menurut saya.
Banyak hal menarik dalam pembentukkan
kebudayaan di bulan ramadhan. Pengalaman saya, dari satu bulan berpuasa ada
beberapa hari ketika saya tidak bisa melaksanakan sahur dan akhirnya ‘rela’
puasa tanpa sahur. Rasannya itu berat sekali berpuasa dengan perut keroncongan
apalagi saya kuliah dan seharian harus ada di kampus berkegiatan. Disisi lain
juga ‘ibadah’ yang biasanya dilakukan seperti : taraweh,tadarus,dll seringkali
terbengkalai dengan berbagai macam alasan mulai dari tugas kuliah yang mepet
sampai kegiatan-kegiatan organisasi yang tidak bisa terbaikan.
Dalam hal mempertahankan kebudayaan yang
ditanamkan orang tua dan menjalaninnya pun dirasa ‘susah-susah berat’
dilakukan. Dalam hati kecil ingin melakukannya tetapi apadaya keadaan tidak
bisa menjawab hati kecil ini. Menurut saya inilah ‘ tantangan’ sekaligus
‘pengalaman’ yang tidak bisa dilupakan sekaligus bahan perenungan apakah kita
berhasil menjadi orang yang bertakwa sebagai hasil dari berpuasa selama satu
bulan penuh.
Ketika kita bisa tetap mempertahankan
nilai-nilai budaya berpuasa pada bulan ramadhan . Ketika itu juga kita akan
merasakan kemenangan dari sebuah perjuangan dalam mempertahankan budaya-budaya
‘baik’ di kampung dulu.
kita akan benar-benar merasakan kemenangan
dari hari idul adha yang esensinnya hari kemenangan kita setelah menunaikan
ibadah puasa yang penuh dengan cobaan. Inilah petualangan yang sesungguhnya
harus kita hadapi agar bagaimana keimanan kita di gedor habis-habisan oleh
keadaan di perantauan. Bagi saya it’s
adventure and it’s real buat pengalaman hidup.
Bagaimana dengan teman-teman sekalian ?
apakah merasa tertantang dengan keadaan perantauan atau hanya memilih pulang
kampung ?. apakah ingin merasakan hal baru yang tak terduga atau memilih adem
ayem saja di kampung ? itu pilihan kalian.... it’s your life freind...
“
dari kesalahan kita akan tau apa itu kebenaran, dari kelalaian kita akan tau apa
itu ketelitian. Rasakan sensainya, ambil hikmahnya, raih kemenangan sebenarnya”
Komentar
Posting Komentar